Terpecaya

Selasa, 31 Maret 2015

ilmu munasabah

BAB II
PEMBAHASAN

            Telah ditegaskan pada bagian lain buku ini, bahwa dari sisi manapun, AL-Quran selalu melahirkan cabang ilmu pengetahuan. Termasuk dari segi hubungan antara bagian dengan bagian Al-Quran seperti hubungan antara ayat dengan ayat, antara surat dengan surat  dan lain-lain yang juga melahirkan salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam lapangan ilmu-ilmu Al-Quran, yaitu ilmu munasabah.
2.1.      Pengertian ilmu munasabah
Secara harfiah , kata munasabah berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaiaan, kecocokan dan kepantasan . Dalam penggunaan sehari-hari istilah ini dimaksudkan sebagai hubungan yang sangat erat seperti hubungan antara dua orang yang mempunyai keterkaitan dengan keturunan (disebut sebagai kerabat).
Adapun yang dimaksud dengan munasabah menurut terminology ahli ilmu al-Quran sesuai dengan pengertian harfiahnya diatas adalah :segi-segi hubungan atu persesuaian al-Quran antara bagian demi bagian dalam berbagi bentuknya. Yang dimaksud segi hubungan atau persesuaiaan adalah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna  yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang lain.sedangkan yang dimaksuk dengan bagian demi bagia ialah semisal antara kata dengan kata,antara ayat denga ayat,antara awal surat dengan akhir surat yang lain, dan begitulah seterusnya hingga benar-benar tergambar bahwa al-Quran itu merupakan satu kesatuan yag utuh dan menyeluruh (holistic).

Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan bahwa munasabah adalah adanya keserupaan dan kedekatandi antara berbagai ayat,surah,dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan makna  antarayat dan macam-macam hubungan, atau kemestian dalam pikiran (nalar).

Makna tersebut dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat dicari penjelasannya di ayat atau disurah lain yang mempunyai kesamaan atau kemiripan.

Pemahaman terhadap kajian ilmumunasabah ini sangat erat kaitannya  dengan tingkat intelegensia orang yang menggulutinya.karena,semakin tinggi tingkat kemampuan seseorang, semakin dalam pula rahasia-rahasia munasabah yang dapat ditemukannya dalam al-Quran.

2.2  .     Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu munasabah
Secara historis ilmu munasabah termasuk ilmu yang muncul belakangan, dibandingkan dengan ilmu-ilmu al-Quran lainnya. Di samping itu, orang yang mengguluti bidang ilmu ini juga sangat sedikit. Hal ini disebabkan antara lain karena pelik dalam pemahamannya disbanding dengan ilmu lainnya. Sehingga beberapa orang saja yang mencoba mengguluti ilmu munasabah ini.[1]

Ulama yang pertama sekali mencoba menggagas ilmu adalah Abu Ja’far bin Zubair, ia merupakan salah seorang ahli dalam ilmu-ilmu al-Quran yang hidup pada abad III atau IV H.

Pada tahap berikutnya jejak Abu Ja’far  juga diikuti oleh fakhruddin l- razi dalam tafsirnya  Mafatih al-Ghaib. Sedangkan menurut Jalaluddin al-Suyuthi, ilmu ini pertama kali dikembangkan oleh imam Abu Bakar al-Naisaburi di Baghdad.

Pada tahap berikutnya tampil seorang ahli ilmu al-Quran bernama Ibrahim bin Umar al Biqa’ dengan kitabnya Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, ia membahas ilmu ini secara lebih lengkap. Kitab ini khusus membicarakan tentang keterkaitan antara satu ayat dengan ayat lain serta antara satu surat dengan surat yang lain dalam al-Quran. Di samping itu terdapat juga ‘Allamah Abi Ja’far Amad bin Ibrahim bin al-Zubir al- Tsaqafi Al-‘Ashimy al-Andalusi dengan judul Mu’alim bi al-Burhan fa Tartibi Suwar al-Quran. Kitab ini membahas tentang munasabah antara ayat-ayat.
 
Tindakan An naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuaian, baik antar ayat ataupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro atau kontra terhadap apa yang dicetiskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai Bapak Ilmu Munasabah. Dalam perkembangannya, munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ilimu-ilmu al-Quran. Ulama-ulama yang dating kemudian menyusun pembahasan munasabah secara khusus. Di antara kitab yang khusus membicarakan munasabah adalah Al-Burhan fi munasabati tartibil Quran susunan Ahmad Ibnu Ibrahim Al Andalusi (wafat 807 h). menurut pengarang Tafsir An-nur, penulis yang membahas dengan baik masalah munasabah ialah Burhanuddin Al Biqa’i dalam kitabnya Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati was Suwar. [2]
            Latar belakang sejarah timbulnya ilmu ini erat hubungannya dengan sikap para mufassir pada masa itu yang selalu bertanya-bertanya tentang hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Mereka selalu terbentur ketika melihat kandungan al-Quran yang seakan-akan tidak punya hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan ayat berikutnya . Abu Bakar Al Naisaburi yang disebut sebagai pelopor ilmu ini permulaannya mencoba mencari hubungan ayat-ayat yang ia tafsirkan tersebut. Cara yang ia lakukan adalah dengan mengeluarkan beberapa pertanyaan sekitar ayat yang ia tafsirkan. Pertama kali ia menyempurnakan ayat sebelumnya ataukah ayat itu berdiri sendiri? Jika berdiri sendiri, apakahsegi persesuaiannya dengan ayat sebelumnya? Kenapa ayat-ayat itu tersusun demikian rupa. Sedangkan tentang urutan turunnya ayat tidak sedikitpun diragukannya.
            Fakhr al- Din Al-Razi, slah seorang ahli tafsir menyadari betul pentingnya ilmu ini. Penafsiran ayat dalam al-Quran berdasarkan susunan ayat dalam mushaf, menurutnya dapat memberikan kesan terpilah-pilahnya masalahmasalh yang dijelaskan al-Quran. Namun bila diselidiki dengan mencari keterkaitan tentu hal tersebut tidak akan terlihat bahkan terasa benar-benar bahwa antara ayat yang satu dengan ayat yang lain saling berkaitan. Dengan demikian ilmu munasabah merupakan sesuatu yang mesti dimiliki oleh para mufassir agar pesan-pesan al-Quran dapta dipahami seutuhnya.
            Masalah ini mencapai puncaknya dibawah usaha Ibrahim bi Umar al Biqa’I (809-885). Hingga sekarang para ahli belum banyak yang melibatkan diri dalam bidang ilmu munasabah ini. Karia yang dianggap terlengkap adalah hasil karia al-Bia’i dengan pembahasan seluruh al-Quran yang kusus membahas keseluruhan keterkaitan baik antara ayat per ayat maupun antar surat-surat serta terbagi segi lainnya. Sedangkan pembahasan lain sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab ‘Ulumul al-Quran hanya sekedar memperkenalkan tentang munusabah serta sejauhmana dipentingkan dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman.
       

2.3.      Macam-macam Munasabah
Sistematika al-Quran merupakan salah satu sisi kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Karena dimensi kemukjizatan tersebutlah sistematika al-Quran sulit dan sukar untuk dimengerti oleh manusia tanpa melakukan kajian secara khusus dan mendalam. Sistematika al-Quran makin mengambang pemahamannya bila dibandingkan dengan sistematika karya ilmiah buah tangan manusia. Pisau analisa digunakan dalam kajian sekitar sistematika al-Quran tidak hanya dicukupkan dengan yang lazim digunakan dalam telaah keilmuan dalam karidor ilmiah. Tetapi mesti adanya telaah yang multi dimensi seperti dimensi kemukjizatan al-Quran itu sendiri.

Sistematika redaksi alQuran telah ditata sedemikian rupa oleh Allah SWT, sehingga ditemukan adanya munasabah (keserasian yang ditemukan dalam ayat-ayat dan surah-surah al-quran), yaitu keserasian antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam banyak ayat antara fasilah dengan kandunga ayat surah, antara satu surah dengan surah yang lainnya, antara mukaddimah satu surah dengan akhir surah, antara akhir satu surah dengal awal surah berikutnya, dan atau antara nama surah dengan kandungan surah. [3]
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dijabarkan paling kurang terdapat delapan macam munasabat, baik yang berkaitan denga ayat-ayat maupun dengan surat-surat serta hubungan antara ayat dari suatu surat dengan ayat dalamsurat lain, diantaranya:
ü  Munasabat antara satu surat dengan surat berikutnya. Contohnya surat Al-Fatihah berkaitan dengan surat al-baqarah dan ungkapan Alhamdulillah berkaitan dengan surat al-Baqarah ayat 152 dan 186
152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu*, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
* Maksudnya: Aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.

. 186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
ü  Munasabat antara akhir satu surat dan awal surat berikutnya. Misalnya, akhir surat al-Fatihah berkaitan erat dengan awal surat al-Baqarah . jika akhir surat al-Fatihah mengandung do’a agar umat islam diberi jalan yang lurus (diberi nikmat), maka awal surat al-Baqarah menjawab doa tersebut dengan petunjuk agar umat islam berpedoman pada al-Quran. Orang yang menjadikan sebagai pedoman hidupnya akan mendapat nikmat dan tidak dimurkai Allah.
ü  Munasabat antara pembuka dan kandungan sebuah surat, sepertisurat Qaf yang mayoritas ayatnya menggunakan huruf qaf. Sebagai contoh al-Qaul, al-Qurb, al-Qalb, dan al-Quran . Demikian juga dalam surat al-Ra’d yang dimilai dengan kalimat alif lam ra, seperti kata al-‘arsy, al-Qmar, al-Tsamarat, al-Ardh, al-Turab, al-Nar, al-Alham, am-Nur, dan kata al-Rad sendiri.
ü  Munasabat antara awal dan akhir sebuah surat. Awal surat al-Qashash menceritakan perjuangan Nabi Musa dalam melawan kekuasaan Fir’aun dan usahanya untuk keluar dari Mesir atas perintah dan bantuan Allah. Sedangakan pada akhir surat tersebut Allah menyampaikan berita gembira kepada Nabi Muhammad dengan menjanjikan akan mengembalikan beliau ke Makkah setelah sebelumnya melakukan hijrah ke Madinah karena surat itu diceritakan juga bahwa Nabi Musa tidak akan menolongorang yang berbuat dosa, sementara pada akhir surat itu juga Allah melarang Nabi Muhammad untuk menolong orang-orang kafir.
ü  Munasabat antara nama dan isi (isi yang mendominasi) sebuah surat. Misalnya, surat al-Fatihah memiliki banyak nama, diantaranya Fatihah al-Kitab, Um al-Quran, Sab’ al-Masani,al-Kanz dan al-Asas. Nama-nama ini sesuai dengan kandungan yang ada dalam surat al-Fatihah tersebut.
ü  Munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam sebuah surat. Misalnya, surat al-Baqarah ayat 1-20.kedua puluh ayat ini membahas tiga kelompok sosial, yaitu orang mukmin (ayat 1-5), orang-orang kafir (ayat 6-7), dan orang-orang munafik (ayat 8-20). Pada setiap kelompok tersebut. Jika suatu surat cukup pendek, maka seluruh ayatnya saling mendukung. Misalnya surat al-Ikhlas yang terdiri dari empat ayat. Keterkaitan antara keempat ayat itu terlihat dan saling mendukung.
ü  Munasabah, antara penutup satu ayat dan isi ayat itu sendiri. Misalnya, surat al-Sajadah ayat 2. Dalam ayat ini Allah mempertanyakan apakah hukuman yang diberikan-Nya kepada umat sebelumnya yang tidak mematuhi perintah-Nya tidak menjadi petunjuk bagi umat nabi Muhammad. Hal ini ditegaskan kembali oleh Allah diakhir ayat.[4]
ü  Munasabah kata demi kata dalam satu ayat. Hubungan kata demi kata dalam satu ayat sangat jelas terlihat pada pembahasan al-Quran tentang siapa yang haram dikawini. (Al-Nisa’ ayat 22-23).[5]
Dengan demikian, tidak hanya ayat dengan ayat saja yang perlu dilihat nilai-nilai munasabahnya. Tetapi seperti disebut diatas, munasabah dapat diperhatikan antar satuan-satuan yang terdapat dalam al-Quran. Munasabah dimungkinkan untuk menyatakan sebab akibat seperti balasan terhadap sesuatu perbuatan atau perbandingan suatu kaum dengan kaum yang lain.

2.4.      Kedudukan Munasabah dalam Menafsirkan Al-Quran.
            Pendapat para mufassir dalam menghadapi masalah munasabah dalam garis besarnya terbagi dua. Sebagian mereka menampung dan mengembangkan munasabah dalam penafsiaran ayat. Sebagian yang lain tidak memperhatikan munasabah dalam penafsiran ayat. Ar Razi adalah orang yang sangat menaruh perhatian kepada munasabah, baik antar ayat atau antar surat. Sedangkan Nizhammuddin An Naisaburi dan Abu Hayyan Al Andalusi hanya menaruh perhatian besar kepada munasabah antar ayat saja.
Az Zarqani, seorang ulama dalam ilmu Al Quran yang hidup pada abad XIV, menilai bahwa kitab yang pernah beliau temui semua menyangkut munasabah.[6]
            Ada musafir yang kurang setuju dengan analisis munasabah, yaitu Mahmud Syaltut, mantan rector Al Azhar yang memiliki karya tulis dalam berbagai cabang ilmu, termasuk ilmu Al Quran.
            Tokoh yang paling kritis menentang dalam pengguna munasabah adalah Ma’ruf Dualibi. Ia mengatakan bahwa: “maka termasuk usaha yang percumas untuk mencari hubungan apa di antara ayat-ayat dalam surat. Sebagaimana andaikata urusan itu dalam satu hal saja dalam topic tentang aqaid, atau kewajiban-kewajiban atau urusan budi pekerti ataupun mengenai hak-hak. Sebenarnya kita mencari hubungannya atas dasar satu atau beberapa prinsip”.[7]
            Menurut beliau, Al Quran dalam berbagai ayat hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabda’) dan norma umumnya (qaidah) saja. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras harus ada kaitan antar ayat-ayat yang bersifat tafsil.
            Datangnya As Sunnah justru untuk mengemban fungsi itu, meluruskan apa yang di ringkas, merinci apa yang masih global, serta menjelaskan hal-hal yang sulit dipahami.

2.5       Faedah Mengetahui Munasabah
            Beberapa ahli ulumul Quran menjuluki ilmu munasabah dengan beberapa julukan, yaitu ilmu yang baik (‘ilmin hasan), ilmu yang mulia (ilmun syarif), ilmu yang agung(‘ilmun azbimun). Semua julukan itu menyatakan betapa ilmu munasabah mendapat tempat dan penghargaan yang cukup tinggi dala  lapangan ilmu-ilmu Al Quran dan sekaligus memiliki fungsi atau peran yang cukup signifikan dala memahami dan menafsirkan Al-Quran.5
            Dan ilmu munasabah cukup erat korelasinya dengan ilmu tafsir. Dengan demikian ilmu tafsir ikut berperan terhadap ilmu munasabah. Denagn mengetahui bagaimana seluk beluk munasabah Al Quran akan sangat terbantu dalam segi kecermatan dan ketelitian menakwilkan dan memahami isi kandungan suatu ayat yang ditafsirkan.
            Menurut Az Zarkasyi bahwa manfaat ilmu munasabah adalah untuk menguatkan hubungan suatu pembicaraan yang dibahas sehingga bentuk susunannya menjadi kokoh dan bersesuaian. Sedangkan menurut Abu Bakar Ibnu Arabi, adalah mengetahui munasabah akan menjadikan pembahasan seperti satu kata, memberi makna yang serasi serta maknanya yang teratur.[8]
Sedangkan manfaat lainnya adalah untuk menanggapi makna yang terkandung didalam ayat yang dibahas dan mengetahui susunan kalimat yang serasi.
            Adapula yang berpendapat bahwa ilmu munasabah itu paling sedikit berfunsi sebagai ilmu pendukung atau penopang dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran. Bahkan tidak jarang dengan pendekatan ilmu munasabah penafsiran akan menjadi semakin jelas. Dan karenanya maka ilmu munasabah cukup memiliki peranan dalam meningkatkan kualitas penafsiran ayat-ayat Al Quran.





[1] Ibrahim bin Umar al-Biqa’I,Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Cet. I. 1995
[2] M. Hasbi Ash Shiddiieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), hal. 96
[3] Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, Karia Abditam, Surabaya, cet. I, 1994, hal. 93
[4] Tim penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, hal.1230.
[5] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran, hal. 239.
[6] Az Zarqani, Manahiul ‘Irfan, Juz II (Cairo: Darul Ihyail Arrabiyyah, t.th). hal.213.
[7] Ma’ruf Dualibi, “Ta’rif bil Kitabil Karim”, Al-Muslimun, September 1952, hal.27
[8] Manna’ Khalil al-Qatta, Studi Ilmu-ilmu al Quran, (terj. Mudzakir), Literal Antar Nusa, Cet. III, Bogor, 1996, hal.137.